Dodik Setiawan Nur Heriyanto

Home » Law (Hukum) » Constitutional Law » Benarkah Banyak Aturan Hukum Menjadi Sebab Ketiadaan Keadilan?

Benarkah Banyak Aturan Hukum Menjadi Sebab Ketiadaan Keadilan?

My New Ideas

Law is not merely words but also reflecting more actions.

Sekitar hari selasa, 25 Januari 2011 saya mendapatkan pesan di dinding facebook saya. Pesan tersebut datang dari Pak Heri Karuniawan, salah seorang sahabat yang kini tengah bekerja di Pemerintah Kota Yogyakarta. Pesan tersebut kurang lebihnya berbunyi seperti ini:

“Mas, saya pernah denger seorang Filsuf mengatakan: “terlalu banyak hukum/ peraturan semakin tidak adil” Maksudnya gimana?. Marcus Tullius Cicero mengatakan: “the more laws, the less justice” dan satu lagi Martin Luther mengatakan: “injustice anywhere is a threat to justice everywhere”

Pesan yang berisi pertanyaan yang membutuhkan jawaban panjang ini 🙂 kemudian coba saya balas dengan analisis pikiran saya yang masih sedikit belajar menimba ilmu dunia. Namun saya mencoba memberikan analisis yang pas menurut saya agar mudah dipahami sahabat saya yang memberi komentar tersebut.  Berikut ini jawaban singkat saya kepada beliau:

Hukum dan Keadilan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Banyak filsuf dunia menghubung-hubungkan kedua kata tersebut. Sewaktu saya kuliah dulu telah banyak yang membahas teori hukum dan keadilan yang berasal dari pendapat Aristoteles, John rawls dan filsuf besar lainnya. Intinya bagi saya satu: bahwa dalam formulasi dan penegakan aturan hukum harus senantiasa didasarkan keadilan.

Mengenai pertanyaan Pak Heri tentang apakah banyak hukum menyebabkan adanya degradasi keadilan, bagi saya ada dua hal yang ingin saya sampaikan:

Satu, banyak sedikitnya aturan tidak menjadi parameter keadilan. Dalam hal ini letak keadilan dapat dilihat dari subjek pembuat aturan dan subjek pelaksana aturan. Subjek pembuat aturan hukum (kalau Undang-Undang ya antara DPR dan Presiden atau antara Eksekutif-Legislatif). Jika anggota Dewan banyak yang merumuskan aturan dengan nuansa politik yang tinggi maka bisa dibayangkan kira-kira aturan hukum yang dihasilkanya akan berlaku adil tidak di masyarakat? (kita bisa menjawabnya sendiri 🙂 )

Untuk subjek pelaksana aturan adalah bisa jadi masyarakat dan hakim yang menegakkan aturan tersebut. Dalam hal ini bisa dipandang apakah aturan yang telah disahkan antara Eksekutif dan Legislatif tersebut meringankan, memberatkan atau justru menjerumuskan masyarakat kepada ketidakadilan sebagai subjek hukum?. Ketidakadilan tersebut misalnya terdapat aturan yang mempunyai muatan kesenjangan antara si kaya dan si miskin atau muatan yang tidak baik lainnya.

Dua, keadilan dalam hukum bisa juga dilihat dari sistem hukumnya. Bila di sistem hukum common law keadilan lebih diidentikkan kepada keyakinan hakim. Negara-negara common law menyerahkan sepenuhnya keyakinan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Banyak para pakar disana menganggap letak keadilan ada di keyakinan hakim, hakim tau mana yang lebih tepat dalam menegakkan hukum.

Sedangkan di negara-negara civil law khususnya di Indonesia, justru hukum mendasarkan pada aturan yang ada. Hakim dalam menegakkan hukum harus tidak boleh melenceng dari jiwa aturan hukum yang ada. Pikir pendek saya: “Ya kalau mencuri pidana-nya maksimal 6 bulan ya jangan dipidana lebih dari 6 bulan”.

Nah, saya ingin mencoba menggambarkan keadaan negara kita. Khususnya dalam membahas Rancangan Undang-Undang ditingkat pusat, disana pembahasan itu seperti proyek pak. dana yang dikeluarkan bisa miliaran rupiah. terlebih yang selalu dibahas adalah yang nuansa politisnya tinggi (maksud saya yang banyak melibatkan kepentingan mereka). Nah sumonggo anda dibayangkan, kira-kira jika seperti itu prakteknya aturan yang dihasilkan adil apa tidak?

Tulisan ini sebagai bentuk kecil penghargaan teruntuk Pak Heru Karuniawan.

Dodik Setiawan Nur Heriyanto

*) Pemerhati Penegakan Hukum di Indonesia

 


5 Comments

  1. ADITYA says:

    menurut saya bukan karena banyaknya aturan hukum yang menyebabkan ketidak adilan. melainkan mental serta integritas penegak hukum serta pelaksana aturan yang tidak bijak. apalah arti suatu aturan mau sebagus apapun namun jika para pelaksana serta penegak hukum nya korup maka akan jauh dari keadilan itu sendiri.
    Mengajarkan keteraturan menemukan ketidak teraturan “( teaching Onder Finding Disorder)”

  2. Dodik Setiawan Nur Heriyanto says:

    semua orang mempunyai pemahaman masing2… terimakasih sudah menambahkan komentar dari tulisan saya mas adit…

  3. Lucky OmegaHasan says:

    menurut analisis saya yang hanya sebatas saya ketahui..dengan adanya fenomena turbulensi aturan hukum yang melampaui proporsionalitas dalam mengatur tatanan sosial masyarakat, memang bisa dikatakan sebagai indikator ketiadaadilan di tubuh sosial masyarakat, akan tetapi formulasi berpikir yang demikian merupakan wacana yang masih jauh menurut saya untuk menjadi urgensitas permasalahan dari fenomena yang ditemukan. menurut teori friedman, sistem hukum terderivatif dalam 3 hal yang saling menunjang satu sama lain dalam menciptakan esensi dari hukum. Derivatif sistem hukum tersebut antara lain struktur hukum,subsntansi hukum, serta Legal culture atau budaya hukum. Ke 3 hal ini saling terkait dalam membentuk sistem hukum yang hakiki dalam ruang keadilan,kepastian serta kemanfaatan dari hukum. apabila dianalogikan dengan sebuah mobil, maka struktur hukum (lembaga-lembaga penegak hukum atau pencipta regulasi) merupakan rangka dari mobil, Substansi hukum (aturan-aturan hukum) merupakan mesin dari mobil, sedangkan budaya hukum (kesadaran masyarakat akan hukum) merupakan subjek atau orang yang menyetir mobil. Mau dibawa kemana arah mobil tersebut melaju, meskipun dengan mobil jenis berganti-ganti apapun,jenis mesin berganti-ganti apapun,jika sipenyetir berkehendak agar mobil tidak jalan, maka mobil tersebut tidak akan pernah jalan, kalaupun jalan juga belum tentu sampai tujuan yang dikehendaki bersama, semua tergantung dari sikap atau pilihan dari si penyetir mobil itu sendiri. terkait dengan permasalahan ini, maka dapatlah diiambil suatu kesimpulan, bahwa bukanlah substansi hukum atau banyaknya regulasi yang mengimplikasikan ketiadaadilan, akan tetapi lebih kepada budaya hukumnya (kesadaran hukum) yang belum memadai..layaknya sebuah mobil seperti yang dipaparkan sebelumnya..sehingga pada intinya yang saya ketahui dengan pengetahuan saya yang minim, bahwa “BANYAKNYA ATURAN HUKUM MERUPAKAN INDIKATOR KETIADAAN BUDAYA HUKUM DALAM TATANAN SOSIAL MASYARAKAT” SEHINGGA BERIMPLIKASI PADA BANYAKNYA KETIADAADILAN serta KETIDAKPATUHAN MASYARAKAT AKAN HUKUM. Terima Kasih

  4. Dodik Setiawan Nur Heriyanto says:

    wow… analisis yang bagus Mas Lucky… menambah warna dalam tulisan saya… ketajaman anda dalam mengibaratkan hukum layaknya mengendarai mobil tampaknya cukup jelas anda sangat memahami teori hukum dan keadilan… setiap orang mempunyai sisi lemah dan baik dalam berpendapat… dan tampaknya pendapat anda sangat menguatkan atau menajamkan kembali tulisan saya ini.. maturnuwun…

  5. AYU says:

    MANA MUNGKIN ATURAN ITU BAIK JIKA PARA PEMBUAT ATURAN MEMILIKI KEPENTINGAN DALAM PEMBUATANNYA. UTAMANYA KEPENTINGAN PRIBADI DAN KELOMPOKNYA…

Leave a comment